MELANGGAR STANDAR ATAU KEJAHATAN PROFESI? HASIL PEER REVIEW BPKP ATAS KERTAS KERJA AUDITOR BANK-BANK BERMASALAH

Salah satu penyebab krisis ekonomi yang sampai sekarang belum selesai adalah ambruknya sektor perbankan. Robohnya sektor perbankan ini sebenarnya dapat diduga akan terjadi jika melihat begitu banyak penyimpangan yang dilakukan oleh sektor perbankan didiamkan begitu saja oleh BI sebagai pengawas perbankan. Berbagai penyimpangan, seperti pelanggaran BMPK, tidak terpenuhinya indikator kesehatan, banyaknya kredit fiktif, kolusi dalam pemberian kredit, laporan keuangan yang direkayasa, dan berujung pada mengucurnya BLBI ratusan triliun untuk tujuan yang tidak jelas, hampir semuanya berasal dari kesengajaan pengelola bank dan kelemahan sistem pengawasan perbankan BI. Akibat berbagai moral hazard ini, sektor perbankan menjadi beban yang sangat berat bagi perekonomian nasional, dalam bentuk timbulnya biaya semacam berupa BLBI dan biaya penyehatan perbankan yang sangat tinggi.


Tetapi apakah semuanya merupakan kesalahan dari pemilik dan manajemen bank serta BI? Apakah tidak ada faktor lain yang sebenarnya mampu untuk melihat berbagai kelemahan sistem perbankan nasional dan rekayasa keuangan yang dilakukan pengelola bank? Pertanyaan semacam ini sebenarnya akan terjawab jika kita melihat hasil peer review BPKP atas kertas kerja auditor yang mengaudit 37 bank, diantaranya beberapa bank mendapatkan kucuran BLBI.


Sektor perbankan adalah pengerah dana masyarakat. Tidak hanya melalui tabungan, jika bank telah masuk bursa, bank bahkan menarik dana masyarakat dalam bentuk penanaman modal. Masyarakat akan menaruh dananya dalam berbagai bentuk jika bank menunjukkan kondisi keuangan yang sehat. Jika manajemen bank berhasil mengelabui masyarakat dengan menyajikan laporan keuangan yang seolah-olah mengambarkan keberhasilan perusahaan secara keuangan, maka dana masyarakat akan mengalir ke bank tersebut. Tetapi karena secara fundamental tidak sehat, maka bank tersebut justru menjadi beban bagi perekonomian.


Informasi keuangan memang disajikan oleh manajemen bank, tanggung jawabnya juga berada pada pundak pengelola bank. Informasi keuangan tersebut dapat mengandung kekeliruan (error), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Tetapi yang sering terjadi justru terdapat ketidakberesan (irregularities), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang disengaja, atau berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang dicoba ditutupi dengan rekayasa akuntansi.


Karena manajemen dalam menyajikan laporan keuangan mempunyai tujuan tertentu, maka diperlukan jasa profesional untuk menilai kewajaran informasi keuangan yang disajikan manajemen. Jasa profesional inilah yang dilakukan oleh auditor independen. Tetapi bagaimana kalau jasa yang diberikan auditor itu tidak profesional dan tidak secara konsisten menerapkan kualitas dalam perencanaan dan pekerjaan lapangan dan pelaporan? Kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan auditnya, tidak sepenuhnya mematuhi etika profesionalitasnya, yang pada ujungnya menyebabkan tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan bank yang diauditnya.


Etika Profesional Auditor dan Standar Profesional Akuntan Publik


Etika profesional diperlukan setiap profesi karena kebutuhan profesi tersebut akan kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan, siapapun orangnya. Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan anggota profesinya, karena masyarakat merasa terjamin akan memperoleh jasa yang dapat diandalkan. Begitu juga terhadap profesi akuntan publik, kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit.


Bagi profesi akuntan, etika profesional semacam ini dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik bertanggung jawab mematuhi pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, termasuk juga semua orang yang bekerja dalam praktik profesi akuntan publik, seperti karyawan, partner, dan staf.


Sedangkan Standar Auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit. Atau dapat juga disebut sebagai ukuran baku atas mutu jasa auditing. Standar auditing terdiri dari 10 standar dan semua Pernyataan Standar Auditing yang berlaku. Sepuluh standar itu terbagi atas Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan, dan Standar Pelaporan. Standar Umum mengatur syarat-syarat diri auditor, Standar Pekerjaan Lapangan mengatur mutu pelaksanaan auditing, dan Standar Pelaporan memberikan panduan auditor dalam mengkomunikasikan hasil auditnya melalui laporan audit kepada pemakai laporan keuangan. Standar Auditing dan beberapa standar serta pernyataan lainnya dikodifikasi dalam buku Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) sejak Agustus 1994.

Standar Auditing

a. Standar Umum

1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.

2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

b. Standar Pekerjaan Lapangan

1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.

2. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.

3. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

c. Standar Pelaporan

1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.

2. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.

3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.

4. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.

Pengawasan kepatuhan dan penilaian pelaksanaan kode etik serta SPAP oleh akuntan publik dilaksanakan oleh Badan Pengawas Profesi di tingkat Kompartemen Akuntan Publik dan Dewan Pertimbangan Profesi di tingkat IAI. Badan Pengawas Profesi --yang sekarang bernama Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP) dan berfungsi sebagai lembaga peradilan tingkat I ini-- beranggotakan kalangan akuntan publik di Kompartemen Akuntan Publik yang diusulkan dan diangkat oleh Rapat Anggota Kompartemen. Sedang Dewan Pertimbangan Profesi yang sekarang bernama Majelis Kehormatan beranggotakan tokoh-tokoh profesi yang dihormati dari berbagai kalangan akuntan, pejabat Pemerintah, kalangan pemakai jasa akuntan, dan tokoh masyarakat. Majelis ini diangkat oleh Kongres IAI dan bertanggung jawab kepada kongres tersebut.

Fungsi dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik ini secara garis besar adalah mengawasi kepatuhan dan melakukan penilaian pelaksanaan Kode Etik Akuntan Indonesia dan SPAP oleh akuntan publik. Badan ini juga menangani pengaduan dari masyarakat menyangkut pelanggaran akuntan publik terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia atau SPAP. Kemudian jika menemukan pelanggaran Kode Etik Akuntan Indonesia SPAP, Badan ini berwenang untuk menetapkan sanksi kepada akuntan publik yang melanggar. Selain itu Badan ini juga dapat mengajukan usul dan saran mengenai pengembangan kode etik akuntan kepada Komite Kode Etik.


Tetapi jika terdapat akuntan publik yang mengajukan banding atas keputusan sanksi yang dijatuhkan, maka kasus ini kemudian ditangani oleh lembaga banding, yaitu Majelis Kehormatan IAI. Majelis ini berwewenang untuk menangani semua kasus pelanggaran kode etik atau SPAP pada tingkat banding dan menetapkan sanksi yang bersifat final.


Majelis ini dapat mengenakan sanksi berupa pemberhentian keanggotaan sementara atau tetap. Tetapi Majelis ini bertindak atas dasar pengaduan tertulis mengenai pelanggaran kode etik oleh anggota IAI atau atas permintaan pengurus IAI.


Selin itu dalam rangka pengendalian mutu kantor akuntan publik, IAI menyusun Sistem Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik, berupa pernyataan Standar Pengendalian Mutu. Dalam sistem tersebut, pekerjaan seorang akuntan publik dapat direview oleh akuntan publik lain atau institusi yang berwenang, yaitu BPKP sejak tahun 1983. Hal ini disebut juga peer review. Dalam review ini setiap anggota IAI tidak boleh menghalangi atau menghindari pelaksanaan review dari anggota lainnya yang ditunjuk IAI atau instansi yang ditunjuk untuk itu, yaitu BPKP.


Peer Review BPKP Atas Kertas Kerja Auditor


Dalam konteks krisis, ketika banyak bank-bank yang ambruk padahal laporan keuangannya menunjukkan prestasi bagus dan sehat, masyarakat mencurigai kalau banyak auditor sebenarnya mempunyai kontribusi terhadap ambruknya dunia perbankan. Kecurigaaan masyarakat ini sebenarnya ditangkap oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan ditindaklanjuti dengan keinginan pada bulan April 1999 untuk membentuk tim di bidang penegakan disiplin. Tim ini akan meneliti kertas kerja kantor akuntan publik (KAP) yang mengaudit laporan keuangan 38 bank beku usaha (BBKU). Hal ini juga ditujukan agar auditor lebih menjaga kualitas pekerjaan, menjalankan kode etik dan SPAP, yang nantinya berujung agar para bankir tidak lagi melakukan rekayasa laporan keuangan.

Tetapi sayangnya niat tersebut tidak terlaksana, karena IAI sampai beberapa saat tidak mewujudkan niatnya tersebut. Karena itu Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan pada Oktober 1999 meminta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk menggantikan niat IAI dan melakukan peer review terhadap kertas kerja auditor bank bermasalah untuk tahun buku 1995, 1996, 1997. Hal ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Keuangan No.472/KMK.01.017/1999 tanggal 4 Oktober 1999 tentang Pembentukan Tim Evaluasi terhadap Auditor yang Mengaudit Bank-Bank Bermasalah.

Tujuan dari peer review ini adalah untuk melaksanakan tugas Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai Departemen Keuangan sebagai pembina profesi akuntan dan juga untuk menjawab kecurigan masyarakat berkaitan dengan kualitas pekerjaan auditor bank-bank tersebut.


Peer review ini dilakukan dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor ketika mengaudit bank-bank tersebut untuk melihat bagaimana pelaksanaan SPAP dipatuhi. Menurut Standar Auditing Seksi 339 Kertas Kerja paragraf 03, kertas kerja adalah catatan-catatan yang diselenggarakan oleh auditor mengenai prosedur audit yang ditempuhnya, pengujian yang dilakukannya, informasi yang diperolehnya, dan kesimpulan yang dibuatnya sehubungan dengan auditnya. Kertas Kerja ini dapat dikelompokkan ke dalam 5 tipe, yaitu (1) Program Audit, (2) Working Trial Balance, (3) Ringkasan Jurnal Adjustment, (4) Lead Schedule atau Top Schedule, dan (5) Supporting Schedule.


Jadi peer review ini dilakukan BPKP dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor dalam mengaudit bank-bank tersebut, bukan melakukan audit lagi terhadap bank-bank tersebut. Dengan memeriksa kertas kerja, maka BPKP dapat melihat kualitas pekerjaan auditor, karena tujuan pembuatan kertas kerja ini adalah untuk mendukung pendapat auditor atas laporan keuangan auditan, menguatkan kesimpulan-kesimpulan auditor dan kompetensi auditnya, mengkoordinasi dan mengorganisasi semua tahap audit, serta memberikan pedoman dalam audit berikutnya.

Kemudian Standar Auditing Sksi 339 Kertas Kerja paragraf 05 menyatakan bahwa kertas kerja harus cukup memperlihatkan bahwa catatan akuntansi cocok dengan laporan keuangan atau informasi lain yang dilaporkan serta standar auditing yang dapat diterapkan dan dilaksanakan oleh auditor. Kertas kerja ini biasanya harus berisi dokumentasi yang memperlihatkan:
a. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan pertama, yaitu pemeriksaan telah direncanakan dan disupervisi dengan baik.

b. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan kedua, yaitu pemahaman memadai atas struktur pengendalian intern telah diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang telah dilakukan.

c. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan ketiga, yaitu bukti audit telah diperoleh, prosedur audit telah diterapkan, dan pengujian telah dilaksanakan, yang memberikan bukti kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.

Tetapi sayangnya hasil peer review BPKP atas kertas kerja auditor bank-bank bermasalah ternyata menunjukkan bahwa banyak auditor tersebut yang melanggar SPAP. Peer review yang dilakukan atas kertas kerja 10 KAP (ada 17 auditor yang menjabat sebagai partner) yang mengaudit 37 bank bermasalah memperlihatkan bahwa:

1. Hampir semua KAP tidak melakukan pengujian yang memadai atas suatu account.

2. Pada umumnya dokumentasi audit kurang memadai (70%).

3. Terdapat auditor yang tidak memahami peraturan perbankan tetapi menerima penugasan audit terhadap bank (1 auditor).

4. Pengungkapan yang tidak memadai di dalam laporan audit (80%).

5. Masih terdapat auditor yang tidak mengetahui laporan dan opini audit yang sesuai dengan standar.

REKAPITULASI HASIL PEER REVIEW BPKP TERHADAP KERTAS KERJA AUDITOR 37 BANK BERMASALAH

Ketentuan Standar Uraian Pelanggaran Jumlah KAP

Standar Pekerjaan Lapangan Tidak melakukan pengujian yang memadai atas suatu account 9

Dokumentasi audit tidak memadai 7

Tidak melakukan kontrol hubungan 5

Tidak melakukan uji ketaatan terhadap peraturan 4

Tidak membuat simpulan audit 4

Tidak melakukan perencanaan sampel audit 3

Tidak melakukan pengujian fisik 2

Tidak melakukan pengkajian terhadap resiko audit dan materialitas 2

Tidak memahami dan mempelajari peraturan perbankan 1

Audit program yang tidak sesuai dengan karakteristik bisnis klien 1

Standar Pelaporan Pengungkapan yang tidak memadai 8

Opini audit yang tidak sesuai dengan standar 1

Kesalahan pengklasifikasian suatu transaksi 1

Laporan audit yang tidak sesuai dengan standar 1


Jadi dari keseluruhan kertas kerja auditor yang direview, hanya satu KAP yang menurut BPKP tidak terdapat temuan penyimpangan dari Standar Auditing.


Apakah akibat ketika audit melanggar Standar Auditing seperti yang terdapat dalam peer review BPKP? Kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan bank yang diauditnya.


Melanggar Standar atau Kejahatan Profesi?


Hasil peer review tersebut sebenarnya secara gamblang menggambarkan bahwa banyak auditor yang tidak menjaga mutu pekerjaan auditnya. Hasil peer review ini oleh BPKP telah disampaikan ke Departemen Keuangan tahun 2000. Namun sampai saat ini belum ada tindakan apapun dari Departemen Keuangan. Sedangkan IAI sebagai organisasi profesi akuntan tidak melakukan tindakan apapun atas hasil peer review ini.


Merupakan tugas bagi kita semua untuk mendiskusikan apakah masalah diatas hanyalah melanggar standar atau jangan-jangan merupakan kejahatan profesi?

Sumber : http://agamfat.multiply.com/reviews/item/8


Opini:

Menjaga independensi sangat dibutuhkan oleh seorang auditor, agar masyarakat, investor dan pemerintah percaya akan jasa auditnya. Peran BPKP sangat penting untuk menilai kinerja auditor apakah sudah menaati SPAP denagn baik. Walaupun banyak bank yang laporan keuangannya terlihat sehat padahal belum tentu, mungkin banyak terjadi ketidakberesan pada laporan keuangan yang disajikan. Auditor harus lebih cermat dalam menilai apakah laporan keuangan disajikan secara wajar, agar tidak menyesatkan pihak yang menggunakannya.

ETIKA DALAM AKUNTANSI

ACCOUNTING FRAUD

Creative accounting bukan merupakan suatu hal baru, dan untuk melakukannya membutuhkan biaya yang relative mahal. Creative accounting ini dipicu oleh adanya tekanan bahwa badan usaha merasa harus berada dalam posisi profit untuk menarik investor dan sumber daya. Tetapi hal ini lebih mengarah pada penipuan atau kecurangan pada praktik akuntansi. Apakah ini berarti bahwa creative accounting merupakan hal ilegal atau dapat dibenarkan. Berikut ini akan dicontohkan perusahaan yang mempraktekkan creative accounting secara illegal :

1. Worldcom

Worldcom mengungkapkan profit sebesar USD 1,4 juta pada tahun 2001 dan bukan mencatat adanya kerugian. Hal ini terjadi karena Worldcom telah menerapkan trik lama yaitu dengan mengkapitalisasikan biaya secara tidak benar. Langkah-langkah yang dilakukan Worldcom dalam menyamarkan biayanya, yaitu:

a) perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya yang didalamnya termasuk biaya gaji dan upah pekerja.

b) Biaya-biaya tersebut tidak dimasukkan dalam income statement seperti yang seharusnya. Dengan begitu net income Worldcom menjadi lebih besar.

c) Biaya-biaya tersebut dimasukkan dalam komponen balance sheet sebagai asset (dikapitalisasi).

Perusahaan ini hanya melakukan hal tersebut saat membeli peralatan yang digunakan dalam periode yang lama. Worldcom kemudian “mendepresiasikan” biayanya yang telah dimasukkan dalam komponen balance sheet, yang berarti mengurangi net income selama periode waktu. Dalam income statement tersebut hanya sebagian kecil biaya yang dimasukkan, sehingga cash flow, profit margin dan net income telah dimanipulasi. Padahal inilah yang menjadi tolak ukur untuk menilai saham perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa accounting rules memiliki grey area, yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan yang tidak jujur. Itulah sampai saat ini masih ada pertentangan antara penggunaan rules based atau principal based.

2. Enron

Beberapa skandal Enron antara lain:

· Manajer Enron meningkatkan Earning dengan cara melalui serangkaian naskah yang melibatkan “raptors”, yaitu suatu kelompok di badan usaha yang mendesigner baffer Enron’s earning dari yang sesungguhnya dengan yang dilaporkan pasar dan pembayaran jutaan dollar kepada Enron Executive dan rekan-rekannya. Berbagai dokumen dan bukti dilenyapkan oleh Enron, auditornya Arthur Andersen, dan federal regulators

· Pengembangan peraturan dari SPEs, adalah bahwa meskipun SPEs jarang dikapitalisasi dan memegang aset yang merupakan resiko besar, Enron mengambil pengumuman secara literature yang terautorisasi dan terbatas, sehingga mengijinkan mereka untuk tidak mengkonsolidasi SPEs, meskipun dalam situasi dimana Enron mengasumsikan secara nyata semua resiko.


HOW ACCOUNTING CAN REDUCE PERCEIVED RISK

Dari skandal yang telah disebutkan diatas, membuktikan bahwa perusahaan menginginkan agar laporan keuangannya terlihat “baik”. Selain itu perusahaan juga ingin mengurangi persepsi bahwa perusahaannya beresiko. Keinginan perusahaan yang mendasar adalah

§ Ketika perusahaan meminjam uang, terdapat resiko bahwa perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutang. Mereka dapat memperoleh pinjaman pada tingkat bunga tertentu hanya jika kondisi financial perusahaan baik. Perusahaan yang mempunyai banyak hutang seringkali tidak mampu atau gagal membayar hutangnya. Jadi, jika perusahaan dapat mempertahankan proporsi hutangnya tetap rendah, maka dapat memperoleh pinjaman dengan tingkat bunga yang rendah.

§ Saham perusahaan mungkin akan dinilai lebih tinggi jika investor menilai bahwa perusahaan tersebut memiliki tingkat resiko yang rendah, karena investor tidak akan khawatir perusahaan akan bangkrut.

Untuk menciptakan persepsi yang baik tersebut beberapa perusahaan menggunakan strategi yang licik atau penipuan, seperti: : kasus enron. Enron Yang Memiliki lebih dari 800 partnership atau yang sering disebut sebagai Special – Purpose Entity( SPEs ), menggunakannya dengan tujuan untuk menyembunyikan hutangnya yang kemudian akan meningkatkan nilai perusahaan. Jika investor hanya focus pada financial statement perusahaan dan tidak menghiraukan partnership financial statement, maka investor akan percaya bahwa kondisi perusahaan baik, padahal hutang yang dimiliki perusahaan dipindahkan ke partnership dan kemudian memindahkan hutang dari balance sheet, sehingga hutang yang terlihat akan lebih rendah.

PERLAKUAN AKUNTANSI YANG BENAR

Ø Konsolidasi SPEs

Semua Partnership atau Special Purpose Entity ( SPEs ) milik Enron seharusnya dikonsolidasikan. sesuai dengan consolidation principle yang mewajibkan perusahaan untuk mengkonsolidasi semua majority-owned subsidiaries, walaupun non homogen.Hal ini ditujukan agar pembaca laporan keuangan dapat memperoleh gambaran tentang pengaruh hubungan istimewa. Perusahaan induk wajib mengungkapkan adanya hubungan istimewa bila terdapat pengendalian (control), sehubungan dengan transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa.

Ø Restricted R/E

Untuk berinvestasi sebaiknya perusahaan merencanakan terlebih dahulu beberapa tahun sebelum melakukan investasi tersebut. Misalnya, perusahaan memperkirakan beberapa tahun lagi akan membutuhkan gedung baru, maka perusahaan sebaiknya menyisihkan sebagian laba yang setiap tahun didapat untuk kemudian setelah dananya mencukupi digunakan untuk berinvestasi. Jadi perusahaan tersebut tidak perlu berhutang, sehingga proporsi hutang perusahaan tidak meningkat akibat investasi yang dilakukan. Sedangkan laba yang disisihkan tersebut dicatat sebagai “R/E restricterd” selama dana tersebut belum digunakan untuk investasi atau tujuan tertentu.


SUMBER:

http://dhaniq.wordpress.com/2007/02/07/accounting-fraud/


OPINI:

Sebetulnya kasus- kasus fraud Accounting/Auditing bisa dicegah atau setidaknya diminimalisasi dengan memberikan sanksi yang tegas kepada Akuntan atau Auditor yang berbuat kecurangan. Seperti diberikannya sanksi untuk auditor dimana izin operasi KAP akan dibekukan atau kemungkinan terburuk ditutupnya KAP. Karena penyajian laporan keuangan yang mengandung unsur rekayasa keuangan dapat menyesatkan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini adalah investor dan kreditur.

ETIKA DALAM BISNIS

I. PENDAHULUAN

Permasalahan Etika dalam Bisnis

Beberapa hari terakhir ada dua berita yang mempertanyakan apakah etika dan bisnis berasal dari dua dunia berlainan. Pertama, melubernya lumpur dan gas panas di Kabupaten Sidoarjo yang disebabkan eksploitasi gas PT Lapindo Brantas. Kedua, obat antinyamuk HIT yang diketahui memakai bahan pestisida berbahaya yang dilarang penggunaannya sejak tahun 2004. Dalam kasus Lapindo, bencana memaksa penduduk harus ke rumah sakit. Perusahaan pun terkesan lebih mengutamakan penyelamatan aset-asetnya daripada mengatasi soal lingkungan dan sosial yang ditimbulkan. Pada kasus HIT, meski perusahaan pembuat sudah meminta maaf dan berjanji akan menarik produknya, ada kesan permintaan maaf itu klise. Penarikan produk yang kandungannya bisa menyebabkan kanker itu terkesan tidak sungguh-sungguh dilakukan. Produk berbahaya itu masih beredar di pasaran. Atas kasus-kasus itu, kedua perusahaan terkesan melarikan diri dari tanggungjawab. Sebelumnya, kita semua dikejutkan dengan pemakaian formalin pada pembuatan tahu dan pengawetan ikan laut serta pembuatan terasi dengan bahanyang sudah berbelatung.

Dari kasus-kasus yang disebutkan sebelumnya, bagaimana perusahaan bersedia melakukan apa saja demi laba. Wajar bila ada kesimpulan, dalam bisnis, satu-satunya etika yang diperlukan hanya sikap baik dan sopan kepada pemegang saham. Harus diakui, kepentingan utama bisnis adalah menghasilkan keuntungan maksimal bagi shareholders. Fokus itu membuat perusahaan yang berpikiran pendek dengan segala cara berupaya melakukan hal-hal yang bisa meningkatkan keuntungan. Kompetisi semakin ketat dan konsumen yang kian rewel sering menjadi faktor pemicu perusahaan mengabaikan etika dalam berbisnis.

Namun, belakangan beberapa akademisi dan praktisi bisnis melihat adanya hubungan sinergis antara etika dan laba. Menurut mereka, justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi baik merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Salah satu kasus yang sering dijadikan acuan adalah bagaimana Johnson & Johnson (J&J) menangani kasus keracunan Tylenol tahun 1982. Pada kasus itu, tujuh orang dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki, ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOMnya Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol. Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali menjadi pemimpin pasar (market leader) di Amerika Serikat.

Secara jangka panjang, filosofi J&J yang meletakkan keselamatan konsumen di atas kepentingan perusahaan berbuah keuntungan lebih besar kepada perusahaan. Doug Lennick dan Fred Kiel, 2005 (dalam Itpin, 2006) penulis buku Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal sama juga dikemukakan miliuner Jon M Huntsman, 2005 (dalam Itpin, 2006) dalam buku Winners Never Cheat. Dikatakan, kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain. Berkaca pada beberapa contoh kasus itu, sudah saatnya kita merenungkan kembali cara pandang lama yang melihat etika dan bisnis sebagai dua hal berbeda. Memang beretika dalam bisnis tidak akan memberi keuntungan segera. Karena itu, para pengusaha dan praktisi bisnis harus belajar untuk berpikir jangka panjang. Peran masyarakat, terutama melalui pemerintah, badan-badan pengawasan, LSM, media, dan konsumen yang kritis amat dibutuhkan untuk membantu meningkatkan etika bisnis berbagai perusahaan di Indonesia.

Sebuah studi selama dua tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share) perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa 300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada kode etik akan meningkatkan market value added sampai duatiga kali daripada perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain,seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University di tahun 1997 menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan tahunan/revenue) yang lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa (lihat Iman, 2006).

Praktik Bisnis Masih Abaikan Etika

Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan elit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.

Dalam kaitan dengan etika bisnis, terutama bisnis berbasis syariah, pemahaman para pelaku usaha terhadap ekonomi syariah selama ini masih cenderung pada sisi "emosional" saja dan terkadang mengkesampingkan konteks bisnis itu sendiri. Padahal segmen pasar dari ekonomi syariah cukup luas, baik itu untuk usaha perbankan maupun asuransi syariah. Dicontohkan, segmen pasar konvensional, meski tidak "mengenal" sistem syariah, namun potensinya cukup tinggi. Mengenai implementasi etika bisnis tersebut, Rukmana mengakui beberapa pelaku usaha memang sudah ada yang mampu menerapkan etika bisnis tersebut. Namun, karena pemahaman dari masing-masing pelaku usaha mengenai etika bisnis berbeda-beda selama ini, maka implementasinyapun berbeda pula.

Keberadaan etika dan moral pada diri seseorang atau sekelompok orang sangat tergantung pada kualitas sistem kemasyarakatan yang melingkupinya. Walaupun seseorang atau sekelompok orang dapat mencoba mengendalikan kualitas etika dan moral mereka, tetapi sebagai sebuah variabel yang sangat rentan terhadap pengaruh kualitas sistem kemasyarakatan, kualitas etika dan moral seseorang atau sekelompok orang sewaktu-waktu dapat berubah. Baswir (2004) berpendapat bahwa pembicaraan mengenai etika dan moral bisnis sesungguhnya tidak terlalu relevan bagi Indonesia. Jangankan masalah etika dan moral, masalah tertib hukum pun masih belum banyak mendapat perhatian. Sebaliknya, justru sangat lumrah di negeri ini untuk menyimpulkan bahwa berbisnis sama artinya dengan menyiasati hukum. Akibatnya, para pebisnis di Indonesia tidak dapat lagi membedakan antara batas wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum. Wilayah etika dan moral adalah sebuah wilayah pertanggungjawaban pribadi. Sedangkan wilayah hukum adalah wilayah benar dan salah yang harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Akan tetapi memang itulah kesalahan kedua dalam memahami masalah etika dan moral di Indonesia. Pencampuradukan antara wilayah etika dan moral dengan wilayah hukum seringkali menyebabkan kebanyakan orang Indonesia tidak bisa membedakan antara perbuatan yang semata-mata tidak sejalan dengan kaidah-kaidah etik dan moral, dengan perbuatan yang masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Sebagai misal, sama sekali tidak dapat dibenarkan bila masalah korupsi masih didekati dari sudut etika dan moral. Karena masalah korupsi sudah jelas dasar hukumnya, maka masalah itu haruslah didekati secara hukum. Demikian halnya dengan masalah penggelapan pajak, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia.

BERBISNIS DENGAN ETIKA

Epistemologi Etika Bisnis

Menurut Kamus Inggris Indonesia Oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan);Moralitas = kesusilaan; Sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Sedangkan secara etika (ethical) diartikan pantas, layak, beradab, susila. Jadi kata moral dan etika penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, yang sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika. Demikian pula perusahaan yang memiliki etika bisnis pasti manajernya dan segenap karyawan memiliki moral yang baik.

Uno (2004) membedakan pengertian etika dengan etiket. Etiket (sopan santun) berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yangbaik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya,susila, dan agama.

Jika kata etika dikaitkan dengan kata bisnis akan menjadi Etika Binis(business ethics). Steade et al (1984: 701) dalam bukunya ”Business, Its Natura and Environment An Introduction” memberi batasan yakni, ”business ethics is ethical standards that concern both the ends and means of business decision making”.

Definisi etika bisnis menurut Business & Society - Ethics and Stakeholder Management (Caroll & Buchholtz, ?: dalam Iman, 2006):

Ethics is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation. Ethics can also be regarded as a set of moral principles or values. Morality is a doctrine or system of moral conduct. Moral conduct refers to that which relates to principles of right and wrong in behavior. Business ethics, therefore, is concerned with good and bad or right and wrong behavior that takes place within a business context. Concepts of right and wrong are increasingly being interpreted today to include the more difficult and subtle questions of fairness, justice, and equity.

Sim (2003) dalam bukunya Ethics and Corporate Social Responsibility – Why Giants Fall, menyebutkan:

Ethics is a philosophical term derived from the Greek word “ethos,” meaning character or custom. This definition is germane to effective leadership in organizations in that it connotes an organization code conveying moral integrity and consistent values in service to the public.

Jadi, ada beberapa kata kunci di sini, yaitu:

  • Ethics: Is the discipline that deals with what is good and bad and with moral duty and obligation, can also be regarded as a set of moral principles or values.
  • Ethical behavior: Is that which isaccepted as morally “good” and “right” as opposed to “bad” or “wrong” in a particular setting.
  • Morality: A system or doctrine of moral conduct which refers to principles of right and wrong in behavior.

Etika bisnis sendiri terbagi dalam:

  • Normative ethics: Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging. Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended to guide behavior, actions, and decisions (DeGeorge, 2002)
  • Descriptive ethics: Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and values (Bunchholtz and Rosenthal, 1998).

Memang diakui oleh Steade et al. (1984: 584) bahwa menunjuk sesuatu secara tepat yang merupakan perilaku bisnis secara etik bukanlah suatu tugas gampang. Dalam hal ini, beberapa penduduk menyamakan perilaku secara etik (ethical behavior) dengan perilaku legal (legal behavior) – yaitu, jika suatu tindakan adalah legal (syah), mereka harus dapat diterima. Kebanyakan penduduk, termasuk manajer, mengakui bahwa batas-batas legal pada bisnis harus dipatuhi. Namun, mereka melihat batas-batas legal ini sebagai suatu titik pemberangkatan untuk perilaku bisnis dan tindakan manajerial. Secara nyata, perilaku bisnis beretika merefleksikan hukum ditambah tindakan etika masyarakat, moral (kesusilaan), dan nilai-nilai seperti digambarkan pada Gambar 1. Pada gilirannya formulasi hokum mengikuti suatu tindak-tanduk etika masyarakat dan hasilnya secara per lahan muncul dua, yaitu adanya suatu hubungan ”give-and take” antara apa yang ”legal”

dan apa yang ”cara etik”.

SOCIAL

ACCEPTABLE

OR

“ETHICAL”

BUSINESS

BEHAVIOR

LEGAL

BEHAVIOR

BEHAVIOR

GOVERNED BY

SOCIETAL:

• VALUES

• MORALS

• ETHICS

(WHICH ARE

RESUMED ALSO

TO BE LEGAL)

Gambar 1

Elemen-Elemen Perilaku Bisnis Beretika

[Sumber: Steade et al. (1984: 584)]

Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Kata etik juga berhubungan dengan objek kelakuan manusia di wilayah-wilayah tertentu, seperti etika kedokteran, etika bisnis, etika profesional (advokat, akuntan) dan lain-lain. Disni ditekankan pada etika sebagai objek perilaku manusia dalam bidang bisnis. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good) atau buruk (bad)”. Catatan tanda kutip pada kata-kata baik dan buruk, yang berarti menekankan bahwa penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah. Akhirnya, keputusan bahwa manajer membuat tentang pertanyaan yang bekaitan dengan etika adalah keputusan secara individual, yang menimbulkan konskuensi. Keputusan ini merefleksikan banyak faktor, termasuk moral dan nilai-nilai individu dan masyarakat.

Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain (Dalimunthe, 2004).

Etika dan moral (moralitas) sering digunakan secara bergantian dan dipertukarkan karena memiliki arti yang mirip. Ini mungkin karena kata Greek ethos dari mana ”ethics” berasal dan kata latin mores dari mana ”morals” diturunkan keduanya artinya kebiasaan (habit) atau custom (adat). Namun moral (morals) berbeda dari etika (ethics), yang mana di dalam moralitas terkandung suatu elemen- elemen normatif yang tidak dapat dielakkan/dihindari (inevitable normative elements). Dengan demikian, moral berhubungan dengan pembicaraan tidak hanya apa yang dikerjakan, tapi juga apa masyarakat seharusnya dikerjakan dan dipercaya. Elemen-elemen normatif ini, atau ”keharusan (oughtness)”, konflik dengan aspek-aspek perubahan etika bisnis.

Nilai-nilai (values) adalah standar kultural dari perilaku yang diputuskan sebagai petunjuk bagi pelaku bisnis dalam mencapai dan mengejar tujuan. Dengan demikian, pelaku bisnis menggunakan nilai-nilai dalam pembuatan keputusan secara etik apakah mereka menyadarinya atau tidak. Semakin lama, manajer bisnis ditantang meningkatkan sensitivitas mereka terhadap permasalahan etika. Mereka menekankan pada evaluasi secara kritis prioritas nilai-nilai mereka untuk melihat bagaimana ini pantas dengan realitas dan harapan organisasi dan masyarakat.

Etika Bisnis: Suatu Kerangka Global

Masalah etika dalam bisnis dapat diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu: Suap (Bribery), Paksaan (Coercion), Penipuan (Deception), Pencurian (Theft), Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination)(lihat Nofielman, ?), yang masing- masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Suap (Bribery), adalah tindakan berupa menawarkan, memberi, menerima, atau meminta sesuatu yang berharga dengan tujuan mempengaruhi tindakan seorang pejabat dalam melaksanakan kewajiban publik. Suap dimaksudkan untuk memanipulasi seseorang dengan membeli pengaruh. 'Pembelian' itu dapat dilakukan baik dengan membayarkan sejumlah uang atau barang, maupun'pembayaran kembali' setelah transaksi terlaksana. Suap kadangkala tidak mudah dikenali. Pemberian cash atau penggunaan callgirls dapat dengan mudah dimasukkan sebagai cara suap, tetapi pemberian hadiah (gift) tidak selalu dapat disebut sebagai suap, tergantung dari maksud dan respons yang diharapkan oleh pemberi hadiah.
  2. Paksaan (Coercion), adalah tekanan, batasan, dorongan dengan paksa atau dengan menggunakan jabatan atau ancaman. Coercion dapat berupa ancaman untuk mempersulit kenaikan jabatan, pemecatan, atau penolakan industri terhadap seorang individu.
  3. Penipuan (Deception), adalah tindakan memperdaya, menyesatkan yang disengaja dengan mengucapkan atau melakukan kebohongan.
  4. Pencurian (Theft), adalah merupakan tindakan mengambil sesuatu yang bukan hak kita atau mengambil property milik orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Properti tersebut dapat berupa property fisik atau konseptual.
  5. Diskriminasi tidak jelas (Unfair discrimination), adalah perlakuan tidak adil atau penolakan terhadap orang-orang tertentu yang disebabkan oleh ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, atau agama. Suatu kegagalan untuk memperlakukan semua orang dengan setara tanpa adanya perbedaan yang beralasan antara mereka yang 'disukai' dan tidak.

Pentingnya Etika dalam Dunia Bisnis

Perubahan perdagangan dunia menuntut segera dibenahinya etika bisnis agar tatanan ekonomi dunia semakin membaik. Langkah apa yang harus ditempuh?. Didalam bisnis tidak jarang berlaku konsep tujuan menghalalkan segala cara. Bahkan tindakan yang berbau kriminal pun ditempuh demi pencapaian suatu tujuan. Kalau sudah demikian, pengusaha yang menjadi pengerak motor perekonomian akan berubah menjadi binatang ekonomi. Terjadinya perbuatan tercela dalam dunia bisnis tampaknya tidak menampakan kecenderungan tetapi sebaliknya, makin hari semakin meningkat. Tindakan mark up, ingkar janji, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak memperhatikan sumber daya alam maupun tindakan kolusi dan suap merupakan segelintir contoh pengabaian para pengusaha terhadap etika bisnis.

Sebagai bagian dari masyarakat, tentu bisnis tunduk pada norma-norma yang ada pada masyarakat. Tata hubungan bisnis dan masyarakat yang tidak bisa dipisahkan itu membawa serta etika-etika tertentu dalam kegiatan bisnisnya, baik etika itu antara sesama pelaku bisnis maupun etika bisnis terhadap masyarakat dalam hubungan langsung maupun tidak langsung.

Dengan memetakan pola hubungan dalam bisnis seperti itu dapat dilihat bahwa prinsip-prinsip etika bisnis terwujud dalam satu pola hubungan yang bersifat interaktif. Hubungan ini tidak hanya dalam satu negara, tetapi meliputi berbagai negara yang terintegrasi dalam hubungan perdagangan dunia yang nuansanya kini telah berubah. Perubahan nuansa perkembangan dunia itu menuntut segera dibenahinya etika bisnis. Pasalnya, kondisi hukum yang melingkupi dunia usaha terlalu jauh tertinggal dari pertumbuhan serta perkembangan dibidang ekonomi.

Jalinan hubungan usaha dengan pihak-pihak lain yang terkait begitu kompleks. Akibatnya, ketika dunia usaha melaju pesat, ada pihak-pihak yang tertinggal dan dirugikan, karena peranti hukum dan aturan main dunia usaha belum mendapatkan perhatian yang seimbang. Salah satu contoh yang selanjutnya menjadi masalah bagi pemerintah dan dunia usaha adalah masih adanya pelanggaran terhadap upah buruh. Hal lni menyebabkan beberapa produk nasional terkena batasan di pasar internasional. Contoh lain adalah produk-produk hasil hutan yang mendapat protes keras karena pengusaha Indonesia dinilai tidak memperhatikan kelangsungan sumber alam yang sangat berharga.

Perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis. Pentingnya etika bisnis tersebut berlaku untuk kedua perspektif, baik lingkup makro maupun mikro, yang akan dijelaskan sebagai berikut:

  1. Perspektif Makro. Pertumbuhan suatu negara tergantung pada market system yang berperan lebih efektif dan efisien daripada command system dalam mengalokasikan barang dan jasa. Beberapa kondisi yang diperlukan market system untuk dapat efektif, yaitu: (a) Hak memiliki dan mengelola properti swasta; (b)Kebebasan memilih dalam perdagangan barang dan jasa; dan (c) Ketersediaan informasi yang akurat berkaitan dengan barang dan jasa Jika salah satu subsistem dalam market system melakukan perilaku yang tidak etis, maka hal ini akan mempengaruhi keseimbangan sistem dan menghambat pertumbuhan sistem secara makro.

Pengaruh dari perilaku tidak etik pada perspektif bisnis makro :

    1. Penyogokan atau suap. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya kebebasan memilih dengan cara mempengaruhi pengambil keputusan.
    2. Coercive act. Mengurangi kompetisi yang efektif antara pelaku bisnis dengan ancaman atau memaksa untuk tidak berhubungan dengan pihak lain dalam bisnis.
    3. Deceptive information
    4. Pecurian dan penggelapan
    5. Unfair discrimination.

2. Perspektif Bisnis Mikro. Dalam Iingkup ini perilaku etik identik dengan kepercayaan atau trust. Dalam Iingkup mikro terdapat rantai relasi di mana supplier, perusahaan, konsumen, karyawan saling berhubungan kegiatan bisnis yang akan berpengaruh pada Iingkup makro. Tiap mata rantai penting dampaknya untuk selalu menjaga etika, sehingga kepercayaan yang mendasari hubungan bisnis dapat terjaga dengan baik.

Standar moral merupakan tolok ukur etika bisnis. Dimensi etik merupakan dasar kajian dalam pengambilan keputusan. Etika bisnis cenderung berfokus pada etika terapan daripada etika normatif. Dua prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan dimensi etik dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1) Prinsip konsekuensi (Principle of Consequentialist) adalah konsep etika yang berfokus pada konsekuensi pengambilan keputusan. Artinya keputusan dinilai etik atau tidak berdasarkan konsekuensi (dampak) keputusan tersebut; (2) Prinsip tidak konsekuensi (Principle of Nonconsequentialist) adalah terdiri dari rangkaian peraturan yang digunakan sebagai petunjuk/panduan pengambilan keputusan etik dan berdasarkan alasan bukan akibat, antara lain: (a) Prinsip Hak, yaitu menjamin hak asasi manusia yang berhubungan dengan kewajiban untuk tidak saling melanggar hak orang lain; (b) Prinsip Keadilan, yaitu keadilan yang biasanya terkait dengan isu hak, kejujuran, dan kesamaan.

Prinsip keadilan dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: (1) Keadilan distributive, yaitu keadilan yang sifatnya menyeimbangkan alokasi benefit dan beban antar anggota kelompok sesuai dengan kontribusi tenaga dan pikirannya terhadap benefit. Benefit terdiri dari pendapatan, pekerjaan, kesejahteraan, pendidikan dan waktu luang. Beban terdiri dari tugas kerja, pajak dan kewajiban social; (2) Keadilan retributive, yaitu keadilan yang terkait dengan retribution (ganti rugi) dan hukuman atas kesalahan tindakan. Seseorang bertanggungjawab atas konsekuensi negatif atas tindakan yang dilakukan kecuali tindakan tersebut dilakukan atas paksaan pihak lain; dan (3) Keadilan kompensatoris, yaitu keadilan yang terkait dengan kompensasi bagi pihak yang dirugikan. Kompensasi yang diterima dapat berupa perlakuan medis, pelayanan dan barang penebus kerugian. Masalah terjadi apabila kompensasi tidak dapat menebus kerugian, misalnya kehilangan nyawa manusia.

Apabila moral merupakan suatu pendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang tidak mengetahui dan menyetujui adanya moral dan etika, jelas apa yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.

Dalam menciptakan etika bisnis, Dalimunthe (2004) menganjurkan untuk memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pengendalian Diri

Artinya, pelaku-pelaku bisnis mampu mengendalikan diri mereka masing- masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang atau memakan pihak lain dengan menggunakan keuntungan tersebut. Walau keuntungan yang diperoleh merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etik".

  1. Pengembangan Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)

Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. Tanggung jawab sosial bisa dalam bentuk kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya, terutama dalam hal pendidikan, kesehatan, pemberian latihan keterampilan, dll.

  1. Mempertahankan Jati Diri

Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Namun demikian bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

  1. Menciptakan Persaingan yang Sehat

Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

  1. Menerapkan Konsep “Pembangunan Berkelanjutan"

Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa datang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.

6. Menghindari Sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan

Komisi)

Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.

7. Mampu Menyatakan yang Benar itu Benar

Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.

8. Menumbuhkan Sikap Saling Percaya antar Golongan Pengusaha

Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada sikap saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah, sehingga pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.

9. Konsekuen dan Konsisten dengan Aturan main Bersama

Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.

10. Memelihara Kesepakatan

Memelihara kesepakatan atau menumbuhkembangkan Kesadaran dan rasa Memiliki terhadap apa yang telah disepakati adalah salah satu usaha menciptakan etika bisnis. Jika etika ini telah dimiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.

11. Menuangkan ke dalam Hukum Positif

Perlunya sebagian etika bisnis dituangkan dalam suatu hukum positif yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya perkembangan globalisasi dimuka bumi ini. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi. Ahli pemberdayaan kepribadian Uno (2004) menjelaskan bahwa mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum -- sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak menyalahgunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Sedangkan berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi.

Tiga Prinsip Universal

Kasus yang paling gampang adalah Enron, sebuah perusahaan enerji yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi. Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power ataubiasa disebut “spark spread“.

Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar kedelapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis. Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut — dalam hal ini Arthur Andersen.

Bisa saja kita menipu seseorang, tetapi tak akan mungkin selamanya menipu, kan? Apa enaknya hidup penuh tipu-tipu yang tidak akan pernah menentramkan batin. Kasus Enron membuktikan bahwa pelaku bisnis yang curang akan menunggu waktu saja masuk jurang, sedangkan yang jujur tidak akan pernah hancur dan menunggu waktu saja untuk mujur. Hal ini dijastifikasi oleh hukum besi yang tidak bisa dielakkan oleh siapan karena menyangkut nasib manusia, termasuk pelaku pelaku bisnis kotor atau tidak beretika yang penuh tipu-tipu yaitu, ”Hukum Sebab- Akibat”, ”Aksi-Reaksi”, dan ”Menabur-Menuai” adalah kebenaran sepanjang zaman, prinsip universal yang telah ada sejak awal sejarah. Dalam Agama Hindu rangkuman ketiga hukum besi ini tidak lain adalah ”Karma- Pahala”, di mana Karma = Sebab, Aksi, Menabur, dan Pahala = Akibat, Reaksi, Menuai. Artinya, apapun yangd iperbuat oleh seseorang, kelak itulah yang Dia petik. Jika seseorang berbuat jahat terhadap orang lain, maka hasil kejahatan yang akan mereka nikmati, sebaliknya jika perbuatan baik mereka taburkan maka hasil perbuatan baik yang akan mereka tuaiatau hasilkan.

P E N U T U P

1. Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari perilaku manusia. Dalam pengertian ini etika diartikan sebagai aturan-aturan yang tidak dapat dilanggar dari perilaku yang diterima masyarakat sebagai ”baik (good” atau buruk (bad)”. Sedangkan Penentuan baik dan buruk adalah suatu masalah selalu berubah.

2. Etika bisnis adalah standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.

3. Paradigma etika dan bisnis adalah dunia yang berbeda sudah saatnya dirubah menjadi paradigma etika terkait dengan bisnis atau mensinergikan antara etika dengan laba. Justru di era kompetisi yang ketat ini, reputasi perusahaan yang baik yang dilandasi oleh etika bisnis merupakan sebuah competitive advantage yang sulit ditiru. Oleh karena itu, perilaku etik penting diperlukan untuk mencapai sukses jangka panjang dalam sebuah bisnis.

SUMBER :

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/%2812%29%20soca-anderson etika%20bisnis%281%29.pdf

OPINI :

Ketatnya persaingan usaha di dalam dunia bisnis menyebabkan perusahaan berputar otak dan bersedia melakukan apa saja demi memperoleh laba semaksimal mungkin, walaupun sering mengabaikan etika dalam berbisnis. Seperti kasus yang diuraikan di atas, kita ambil contoh kasus PT Lapindo Brantas dan HIT. Kedua kasus tersebut sesungguhnya sudah melanggar nilai etika dalam berbisnis karena mengabaikan keselamatan lingkungan dan konsumen. Salah satu cara untuk meminimalisasi terjadinya kasus di atas, dari sisi PT Lapindo Brantas harusnya melakukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) terlebih dahulu sebelum perusahaan beroperasi dalam mengekploitasi gas. Dan untuk kasus HIT harusnya perusahaan mengadakan riset secara mendetail untuk bahan- bahan apa saja yang diperbolehkan masuk dalam pembuatan produk obat antinyamuk tersebut, yang pasti tidak membahayakan konsumen yang menggunakannya. Dan dari sisi pemerintah harusnya lebih tegas dalam memberikan sanksi bagi perusahaan yang mengabaikan keselamatan konsumen serta lingkungan demi meraup keuntungan yang besar. Sebetulnya apabila etika diterapkan di dalam dunia bisnis, dari sisi konsumen akan loyal dalam menggunakan produk- produk dalam negeri, karena haknya sebagai konsumen dilindungi dan bagi perusahaan akan berdampak pada eksistensi perusahaan yang akan berbuah keuntungan jangka panjang.